RUU Intelijen: Lahirnya Kembali Rezim Represif?

Syabab.Com - Saat ini sedang di bahas RUU Intelijen oleh DPR bersama Pemerintah. Bulan Desember 2010 lalu, DPR telah mengajukan RUU Intelijen sebagai salah satu RUU inisiatif DPR. Menanggapi RUU itu, pemerintah yang diwakili Menhukham Patrialis Akbar, Menhan Purnomo Yusgiantoro, dan Kepala BIN Sutanto, Rabu (16/3/2011) lalu menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Intelijen kepada DPR.

Ada satu hal yang mengusik pikiran terkait momentum didesakkannya pembahasan RUU Intelijen ini. Yaitu, pembahasan RUU tersebut didesakkan setelah terjadi berbagai bentrokan antar kelompok sejak pertengahan tahun lalu, lalu beberapa kejadian kekerasan yang dituduhkan berlatar belakang agama, menyusul teror “bom paket” dan terakhir mencuatnya isu kudeta. Dalam setiap kejadian itu, diantara yang pertama mencuat adalah opini bahwa semua itu karena kelemahan intelijen dan karenanya intelijen harus diperkuat. Semua itu -yang tidak bisa dilepaskan dari kesan adanya rekayasa- seolah menjadi “berkah” untuk mendesakkan pembahasan RUU Intelijen dan mempercepat pembahasan dan pengesahannya.

Penyusunan peraturan perundang-undangan harus dicermati dengan seksama, sebab hal itu akan langsung mempengaruhi dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Perlu dicatat, bahwa di alam demokrasi, proses legislasi dan produk perundang-undangan tidaklah steril dari kepentingan politik berbagai pihak, bahkan asing. Sebab proses legislasi merupakan proses politik dan UU adalah produk proses politik itu. Lebih dari itu, implementasi perundang-undangan atau penegakan hukum, bahkan sampai vonis hukum, sering sekali juga tidak steril dari pengaruh dan kepentingan politik.

RUU Intelijen: Lahirnya Kembali Rezim Represif

Pengajuan RUU Intelijen oleh DPR dan pengajuan DIM RUU Intelijen oleh pemerintah langsung menuai banyak kritikan. Sebab di dalamnya dianggap belum mengakomodir prinsip-prinsip kinerja Intelijen yang profesional tanpa mengabaikan hak-hak prinsip kemanusiaan. Juga dianggap tidak steril dari kepentingan politik, tidak bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan, berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan ekonomi penguasa, dan melanggar hak-hak privasi warga negara. Bahkan dianggap akan bisa melahirkan kembali rezim represif seperti atau bahkan lebih dari rezim Orde Baru.

Dari kajian Lajnah Siyasiyah DPP HTI terhadap draft RUU Intelijen yang terdiri dari 46 pasal terbagi dalam sepuluh bab, Naskah Akademik (NA) yang disiapkan DPR (2010), ditambah DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang diajukan Pemerintah atas RUU Intelijen Negara, ada beberapa catatan kritis penting yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat.

Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur dan multitafisr, sehingga nantinya berpeluang menjadi pasal karet. Misalnya, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, dsb definisinya tidak jelas, pengertiannya kabur dan multitafsir. Begitu juga “musuh dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas. Poin pertama ini sangat penting, karena rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multitafsir dan tidak terukur menyangkut definisi dan hakikat dari “ancaman”, “keamanan nasional ” dan “musuh dalam negeri” itu sangat mungkin di salah gunakan demi kepentingan politik kekuasaan. Karena bersifat subyektif, maka penafsirannya akan tergantung “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman” atau mengancam “keamanan nasional” dan stabilitas.

Kedua, di dalam RUU Intelijen Pasal 1 dikatakan Intelijen Negara merupakan lembaga pemerintah, tidak dikatakan lembaga negara. Dengan definisi itu, intelijen berpeluang dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya.

Ketiga, di Pasal 31 RUU Intelijen, LKIN (Lembaga kordinasi Intelijen Nasional) -atau BIN dalam DIM dan pasal 14 usulan pemerintah - memiliki wewenang untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional. Di dalam penjelasan dikatakan, intersepsi itu dilakukan tanpa ketetapan ketua pengadilan. Bahkan di ayat 4 asal yang sama, Bank Indonesia, bank, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang, wajib memberikan informasi kepada LKIN atau BIN.

Pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan, kabur dan multi tafsir sehingga bisa bersifat subyektif dan tergantung selera. Lebih bahaya lagi, tidak disebutkan siapa yang berwenang memutuskan penyadapan itu. Akibatnya secara implisit setiap personel intelijen berhak memutuskannya. Di negara hukum manapun, penyadapan harus atas izin pengadilan. Jika ada sebagian negara maju yang membolehkan penyadapan tanpa izin pengadilan, itu dianggap tidak demokratis dan mencederai demokrasi. Pemberian wewenang intersepsi tanpa izin pengadilan ini akan bisa menyebabkan terjadinya penyadapan secara liar. Intelijen justru sibuk memata-matai rakyat. Akibatnya warga tidak lagi terjamin hak privasinya dan terancam, yang ironisnya justru oleh intelijen yang dibayai dengan uang mereka.

Keempat, di dalam DIM Pemerintah, diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7×24 jam. Ini akan berpotensi lahirnya rezim intel. Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa surat perintah, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya. Lalu apa bedanya dengan penculikan? Jika usulan itu digolkan, maka akan lahir kembali rezim represif. Penculikan akan terjadi lagi seperti pada masa reformasi atau bahkan lebih dari itu, sebab dilegalkan oleh undang-undang. Padahal di negara hukum manapun, penangkapan adalah wewenang aparat penegak hukum yakni kepolisian, disamping bahwa penangkapan bukanlah fungsi intelijen.

Kelima, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen. Hal itu ditambah adanya potensi intelijen menjadi “arogan” dan nyaris tanpa kontrol -seperti terpapar diatas- akan menjadi musibah dalam kehidupan sosial politik warga negara dan hak-hak warga negara akan terabaikan. Warga berpotensi jadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan. Disinilah terlihat jelas potensi lahirnya rezim intel.

Keenam, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.

Dengan beberapa catatan kritis itu -masih ada yang lain-, maka RUU Intelijen itu akan melahirkan kembali rezim represif. Dan itu merupakan kemunduran bagi kehidupan umat di negeri ini.

Pandangan Islam Tentang Intelijen

Benar, tidak ada negara yang tanpa intelijen. Tapi tentu saja, intelijen dengan anggaran dari APBN itu bukan untuk memusuhi rakyat. Juga tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk kepentingan politik tertentu dan mengamankan status quo. Apalagi jika intelijen digunakan untuk memberangus setiap individu atau kelompok yang menyuarakan dan memperjuangkan syariah Islam. Masa rezim Orde Baru dengan intelijennya, cukup menjadi pengalaman pahit bagi rakyat khususnya umat Islam.

Dalam syariah Islam, intelijen ditujukan untuk menyasar orang-orang kafir yang memerangi kaum muslim secara de-facto (muhâriban fi’lan) ataupun de-jure (muhâriban hukman). Itulah yang dicontohkan dalam sirah Nabi saw sebagai teladan yang wajib kita pegangi.

Dalam pandangan syariah Islam, negara haram memata-matai rakyat. Allah berfirman:

وَلاَ تَجَسَّسُوا

dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (QS al-Hujurat [49]: 12)

Dan Rasul saw bersabda:

« إِنَّ الأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِى النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ »

Sesungguhnya seorang amir itu, jika ia mencari keragu-raguan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baihaqi)

Jelaslah, bahwa memata-matai rakyat, termasuk kafir dzimmi, oleh negara atau individu, hukumnya adalah haram. Adapun ahl ar-riyab yaitu mereka yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kemadaratan dan bahaya terhadap institusi negara, jamaah atau bahkan individu sekalipun, maka tajassus (spionase) terhadap mereka dibolehkan dengan syarat: pertama, didasarkan dari hasil monitoring terhadap muhâriban fi’lan ataupun muhâriban hukman; dan kedua, hal itu disampaikan kepada dan disetujui oleh Qadhi Hisbah (lihat detilnya dalam Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hal 99-104, Darul Ummah. 2005; Struktur Negara Khilafah -terj-, hal. 161-168, HTI Press. 2009).

Maka dengan penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah, negara tidak akan menjadi musuh rakyat, tidak penuh curiga kepada rakyat dan tidak sibuk memata-matai rakyat. Dengan itu pemerintah dan rakyat akan menyatu mnjadi kekuatan besar demi kemuliaan dan keadilan Islam dan mewujudkan rahmat bagi semua. Kapan lagi itu kita wujudkan jika tidak sekarang? Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [ ]

Komentar al-Islam:

DPR berencana membangun gedung baru dengan total biaya Rp 1,138 triliun atau Rp. 7,2 juta per meter persegi. Ruangan untuk setiap anggota DPR seluas 111,1 meter persegi akan menelan biaya Rp. 799,92 juta. Ruangan seluas itu itu akan ditempati seorang anggota Dewan bersama seorang sekretaris pribadi dan empat staf ahli.

Komentar:

Ironis, masih banyak rakyat yang tidak punya rumah dan terpaksa tinggal di emperan toko, pinggiran rel kereta dan kolong jembatan.
Biaya sebesar itu cukup untuk membangun 22.760 rumah untuk rakyat dengan biaya Rp. 50 juta per rumah.
Satu lagi bukti klaim kosong mewakili rakyat. Itulah fakta hasil dari sistem politik demokrasi yang merupakan industri politik yang sarat dengan uang.

Sumber: Buletin Dakwah AL-ISLAM Edisi 550, http://www.hizbut-tahrir.or.id